output_0fyRz3

orang-dekat-kita-lebih-berhak-atas-kebaikan-kita

Oleh: Abu Misykah

Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam atas Rasulillah –Shallallahu ‘Alaihi Wasallam-, keluarga dan para sahabatnya.

Semakin dekat posisi orang kepada kita maka haknya semakin besar. Ibu adalah orang paling dekat kepada seseorang. Karenanya, hak ibu atas seseorang adalah yang paling besar.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata: ada seseorang datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan berkata,

مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ الصُّحْبَةِ قَالَ أُمُّكَ ثُمَّ أُمُّكَ ثُمَّ أُمُّكَ ثُمَّ أَبُوكَ ثُمَّ أَدْنَاكَ أَدْنَاكَ

Siapakah orang yang paling berhak terhadap perlakuan baikku? Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menjawab: ibumu. Kemudian ibumu. Kemudian ibumu. Kemudian bapakmu. Kemudian kerabat yang lebih dekat kepadamu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Husnush shahbah (perlakuan baik) mencakup semua kebaikan seperti senyuman, ucapan lembut, doa, perhatian, bantuan, dan selainnya. Intinya perlakuan yang membuatnya gembira dan menjauhkan dari meyakitinya.

Hadits ini juga mengajarkan kepada kita tentang bagaimana memahami hak orang. Orang yang lebih dekat kepada kita, ia lebih berhak mendapatkan perlakuan baik kita. Yaitu Ibu, lalu bapak, lalu istri, anak, paman, bibi, kerabat, dan seterusnya.

Kesalahan yang sering dilakukan seseorang, dirinya lebih perhatian kepada orang jauh tapi kurang terhadap orang-orang yang ada di rumah dan sekelilingnya. Kepada orang jauh sering tersenyum dan berkata lembut, tapi kepada anak dan istri selalu bermuka tegang dan berucap kasar. Ini tidak boleh terjadi.

Ada juga, orang gemar membantu orang-orang miskin di seberang. Tapi terhadap fuqara’ dari kerabatnya dan orang di sekitar rumahnya dari bantuannya. Sikap seperti ini tidak dibenarkan.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ أَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالصَّدَقَةِ فَقَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ عِنْدِي دِينَارٌ فَقَالَ تَصَدَّقْ بِهِ عَلَى نَفْسِكَ قَالَ عِنْدِي آخَرُ قَالَ تَصَدَّقْ بِهِ عَلَى وَلَدِكَ قَالَ عِنْدِي آخَرُ قَالَ تَصَدَّقْ بِهِ عَلَى زَوْجَتِكَ أَوْ قَالَ زَوْجِكَ قَالَ عِنْدِي آخَرُ قَالَ تَصَدَّقْ بِهِ عَلَى خَادِمِكَ قَالَ عِنْدِي آخَرُ قَالَ أَنْتَ أَبْصَرُ

“Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu berkata: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memerintahkan bersedekah. Lalu ada seseorang yang berkata, “Wahai Rasulullah, aku punya dinar.” Beliau bersabda, “Sedekahkanlah untuk dirimu.” Ia berkata, “Aku masih punya yang lain.” Beliau bersabda, “Sedekahkanlah untuk istrimu.” Ia berkata, “Aku masih punya yang lain.” Beliau bersabda, “Sedekahkanlah untuk orang tuamu.” Ia berkata, “Aku masih punya yang lain.” Beliau bersabda, “Sedekahkanlah untuk pembantumu.” Ia berkata, “Aku masih punya yang lain.” Beliau bersabda, “Kamu lebih tahu”.” (HR. Abu Dawud dan Al-Nasai, ini lafadz Abu Dawud. Dihassankan Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa’ no. 895)

Al-Khathabi berkata, “Urutan ini, apabila kamu perhatikan niscaya kamu tahu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mendahulukan yang utama, lalu baru yang paling lebih dekat (hubungannya).” Kemudian beliau memberikan urutannya: diri sendiri, anak, istri, orang tua, pembantu, lalu orang lain. (Aunul Ma’bud: 5/76)

Imam Nawawi berkata: apabila ada beberapa orang yang sangat membutuhkan uluran tangan dari orang yang wajib dinafkahi oleh seseorang, maka ia lihat; jika cukup hartanya atau penghasilannya untuk menafkahi mereka semua maka ia wajib menafkahi mereka semuanya yang dekat maupun yang jauh. Jika tidak tersisa setelah kebutuhan pribadinya kecuali untuk satu orang, ia utamakan nafkah istrinya atas kerabat-kerabatnya. . . karena kewajiban menafkahinya lebih ditekankan. Sebab, menafkahi istri terus berlaku baginya sepanjang masa dan dalam kondisi pailit.” (Raudhah al-Thalibin: 9/93)

Al-Syaukani berkata: Sesungguhnya telah tegak ijma’ atas wajibnya menafkahi istri, lalu apabila masih ada sisa maka diberikan kepada kerabat dekatnya.” (Nailul Authar: 6/381)

Al-Muhallab berkata, “Nafkah kepada keluarga adalah wajib berdasarkan ijma’. Sesungguhnya Syari’ (Allah) menyebutnya sedekah karena takut mereka menduga bahwa menunaikan kewajiban ini tidak ada pahala di dalamnya. Padahal mereka telah tahu, ada pahala dalam sedekah. Lalu Allah memberitahu mereka bahwa nafkah itu menjadi sedekah mereka sehingga mereka tidak mengeluarkannya kepada selain keluarganya kecuali setelah mencukupkan kebutuhan mereka. Ini sebagai dorongan untuk mereka agar memberikan sedekah yang wajib sebelum sedekah sunnah.” (Dinukil dari Fathul Baari: 9/623)

Ringkasnya, jangan sampai orang yang jauh lebih sering mendapatkan kebaikan kita daripada orang dekat.

Simak ceramah tentang bahasan ini dari Ustadz Syariful Mahya Lubis, MA dalam kajian Tafsir QS. Al-Nisa’ : 160 – 161. [AM/madanitv.net]



Leave A Comment

Please enter your name. Please enter an valid email address. Please enter message.

HTML Snippets Powered By : XYZScripts.com